fbpx

Aqiqah Nurul Hayat

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui)

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui)

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui). Perempuan yang menyusui itu diperbolehkan tidak berpuasa sepanjang berpuasa itu bisa membahayakan kesehatan dirinya dan anaknya atau salah satunya. Menurut madzhab syafi’i, jika seorang perempuan yang sedang menyusui melakukan puasa dan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif pada dirinya beserta anaknya, atau dirinya, atau anak saja maka ia wajib membatalkan puasanya. Dan baginya berkewajiban meng-qadla` puasanya. Namun jika dikhawatirkan membahayakan anaknya saja, maka ia tidak hanya berkewajiban meng-qadla’ tetapi ada kewajiban lain yaitu membayar fidyah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Juzairi :

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah.” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).

Sedangkan fidyah yang harus dibayarkan adalah satu mud (berupa makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin atau orang faqir. Satu mud kurang lebih 675 gram beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.

Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq :

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja)bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)

Setelah kita mengetahui kedudukan hukum berpusa bagi orang yang sedang menyusui. Lantas bagaimana dengan waktu pelaksanaan qadla` sekaligus pembayaran fidyah, jika ia meninggalkan puasa dengan alasan apabila tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya. Bahwa alasan kewajiban untuk meninggalkan puasa bagi orang yang sedang menyusui adalah adanya kekhawatiran akan membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.

Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban qadla` tersebut bisa dilakukan setelah bulan ramadlan dan di luar waktu menyusui. Sedang mengenai teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. Sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir.

وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ

“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen.” (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, dan semoga bermanfaat. Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui untuk selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Dan jika merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan segeralah berkonsultasi kepada dokter. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)

 

Berkurban murah, mudah, dan sah, klik : 

 

Source : nu.or.id

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah. Shalat istikharah adalah anjuran Rasulullah di saat kita menemukan suatu kesusahan dan kegelisahan dalam hidup. Adanya shalat istikharah yang kita lakukan menjadi bukti butuhnya kita sebagai seorang hamba kepada Allah. Istikharah secara syariat Islam adalah meminta kebaikan kepada Allah dalam perkara yang akan dilaksanakan.

ويسن ركعتان للإستخارة أي طلب الخير فيما يريد أن يفعله

Artinya, “Dan disunnahkan (shalat) dua rakaat untuk istikharah yaitu meminta kebaikan pada perkara yang akan ia kerjakan,” (Al-Bakri Utsmani bin Muhammad, I’anatut Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 2003 M], juz I, halaman 297)

Seorang yang mendahulukan istikharah kepada Allah akan mendapatkan keberuntungan dari Allah. Sedangkan, seseorang yang meninggalkan istikharah kepada Allah berpotensi mendapatkan penyesalan di kemudian hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ اسْتِخَارَتُهُ اللَّهَ وَمِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَاهُ اللَّهُ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ تَرْكُهُ اسْتِخَارَةَ اللَّهِ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا قَضَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Salah satu (bentuk) keberuntungan anak adam adalah ia beristikharah kepada Allah, dan salah satu (bentuk) keberuntungan anak Adam adalah ridha dengan putusan yang Allah tetapkan, salah satu (bentuk) kecelakaan anak Adam adalah ia meninggalkan beristikharah kepada Allah, dan salah satu (bentuk) kecelakaan anak Adam adalah benci dengan keputusan yang Allah berikan,” (HR Ahmad).

Adapun di antara bentuk hasil istikharah adalah :

1. Ditakdirkan oleh Allah dengan perkara yang lebih baik dari yang kita harapkan. Seorang yang shalat istikharah berarti meminta kepada Allah agar diberikan perkara yang terbaik. Terkadang, suatu hal yang kita yakini baik ternyata ada banyak hal yang jauh lebih baik hasilnya yang telah dipersiapkan Allah bagi kita.

أن المراد بقوله فاستخرت أي دعوت بدعاء الإستخارة وطلبت منه تعالى ما هو خير لأن ما سألوه وإن كان خيرا فقد يكون غيره من الخيرات أفضل منه

Artinya, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan ucapan (orang yang shalat) ‘Aku beristikharah’ adalah aku berdoa dengan doa istikharah dan meminta kepada Allah perkara yang paling baik. Hal ini karena perkara yang baik yang diminta seorang hamba, terkadang ada perkara baik lain yang jauh lebih baik darinya (permintaan hamba),” (Al-Bujairimi Sulaiman bin Muhammad, Hasyiatul Bujairami ‘ala Khathib [Beirut: Darul Fikr, 2002], juz I, halaman 18).

2. Dimantapkan oleh Allah untuk memilih pilihan yang paling baik. Seorang yang shalat istikharah biasanya sedang dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk berulang-ulang membaca doa istikharah hingga diberikan keyakinan hati oleh Allah untuk memilih perkara yang baik. Seandainya setelah kita berulang-ulang membaca doa istikharah tetapi belum mendapatkan kemantapan hati dari Allah, maka hendaknya kita melaksanakan pilihan yang telah kita putuskan.

بل يسمي حاجته ثم يفعل ما ينشرح له صدره فإن لم يظهر له الحال في أول مرة كرر ما عدا الصلاة فإن لم يظهر له شيء فتوكل على الله ومضى لما هو عازم

Artinya, “Hendaknya ia menyebutkan hajatnya (dalam doa istikharah) kemudian ia melakukan perkara yang dilapangkan dadanya untuk mengerjakannya. Apabila belum terlihat keadaan (dilapangkan dada) dalam kesempatan pertama, maka hendaknya ia ulang-ulangi (doa istikharah) di luar shalat (istikharah). Apabila tetap tidak mendapatkan sesuatu (kelapangan dada) maka hendaknya ia berpasrah (tawakkal) kepada Allah serta mengerjakan perkara yang ia putuskan,” (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M], halaman 106).

Kita diperintahkan oleh Allah untuk shalat istikharah dalam setiap akan mengerjakan perkara apapun bak dalam perkara yang kecil maupun perkara yang besar. Hal ini sebagaimana dalam hadits :

عن جابر قال كان النبي يعلمنا الإستخارة في الأمور كلها كما يعلمنا السورة من القرآن

Artinya, “Diceritakan dari sahabat Jabir, beliau mengatakan ‘Rasulullah mengajarkan kami untuk beristikharah dalam segala sesuatu sebagaimana beliau (Rasulullah) mengajarkan kami surat dari al-Qur’an.” (HR Bukhari).

Tidak perlu merasa enggan shalat istikharah karena dosa kita yang menumpuk karena kita harus meyakini bahwa Allah, zat yang Maha Penyayang pasti menolong kita. Kita melakukan shalat istikharah berarti kita butuh kepada Allah serta kembali untuk berserah diri kepada-Nya. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah :

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Artinya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia (Allah) adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang’,” (QS Az-Zumar ayat 53).

Simpulan di sini adalah shalat istikharah dilaksanakan ketika kita menghadapi kondisi di mana kita sendiri tidak tahu mana pilihan yang terbaik. Seandainya, kita dihadapkan pada perkara yang sudah kita ketahui dengan jelas baik dan buruknya maka tidak perlu untuk shalat istikharah. Misal contoh, ada ajakan untuk beribadah atau berbuat baik maka tidak perlu istikharah untuk segera melaksanakannya. Misal yang lain, ada ajakan untuk berbuat maksiat atau berbuat jahat maka tidak perlu istikharah untuk  segera menolaknya. (Al-Adawi Ali bin Ahmad, Hasyiyah al-Adawi ‘ala Mukhtashar al-Khalil [Kairo, Maktabah Asy-Syarqiyah: 2002 M], juz I, halaman 36).

Hendaknya kita bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang yang bijaksana sebelum kita shalat istikharah dan berpasrah diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana nasihat Syekh Mula Ali Al-Qari :

المستحب دعاء الإستخارة بعد تحقق المشاورة في الأمر المهم من الأمور الدينية والدنياوية وأقله أن يقول اللهم اخترلي ولا تكلني إلى اختياري

Artinya, “Dan dianjurkan doa istikharah setelah musyawarah dalam perkara yang penting baik urusan dunia maupun akhirat. Dan minimal doa istikharah adalah ‘Ya Allah, pilihkanlah untukku, dan jangan pasrahkan aku kepada pilihan (hawa nafsu)ku’,” (Al-Qari Mula Ali, Mirqatil Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz VIII, halaman 3326).

 

Berkurban murah, mudah, dan sah, klik :

Source : nu.or.id

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak?

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak?

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak? Membawa atau menggendong anak ketika shalat hukumnya diperbolehkan, dan shalatnya sah selama tidak ada gerakan yang bisa membatalkan shalat. Seperti tiga kali gerakan secara terus-menerus, atau satu kali gerakan yang keras. Kebolehan shalat sambil menggendong anak adalah berdasarkan salah satu hadits nabi, bahwa suatu saat Rasulullah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab dan Abu al-Ash bin Rabi’ah. Dalam sebuah riwayat disebutkan :

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِي: أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتِ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ رَفَعَهَا

Artinya, “Dari Abu Qatadah al-Anshari: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab bint Rasulullah saw, dan Abu al-‘Ash bin Rabi’ah bin Abd Syams. Jika sujud, dia (nabi) meletakkan anak itu, dan jika berdiri, dia menggendongnya kembal2i.” (HR Anas bin Malik).

Berpijakan pada hadits Rasulullah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menggendong anak ketika shalat hukumnya diperbolehkan dan shalatnya tetap sah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab Musnad-nya yang disusun oleh Syekh Abid as-Sindi, ia mengatakan :

وَفِي هَذَا الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ حَمَلَ آدَمِيًا أَوْ حَيَوَانًا أَوْ غَيْرَهُمَا

Artinya, “Dan dalam hadits ini menjadi dalil sahnya shalat seseorang yang menggendong anak manusia, hewan, atau selain keduanya,” (Imam Syafi’i, Musnad Imam asy-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1951 M/1370 H], halaman 369).

Kendati demikian, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini agar shalatnya tetap sah, yaitu: (1) perihal kondisi anak; dan (2) gerakan orang yang menggendongnya. Pertama, anak yang digendong ketika shalat tidak boleh dalam keadaan najis, baik badan maupun pakaiannya. Kedua, tidak boleh ada tiga kali gerakan yang terus-menerus. Jika dua hal ini terpenuhi, maka shalatnya sah.

بشرط أن يكون ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة وإن الفعل القليل لا يبطل الصلاة وأن الأفعال إذا تعددت وتفرقت لا تبطل الصلاة .. وهو دليل مذهب الشافعي على صحة صلاة من حمل الصبي والصبية في صلاة الفرض والنفل للأمام والمأموم والمنفرد

Artinya, “Dengan syarat pakaian anak kecil, dan badannya harus suci. Dan, pekerjaan yang sedikit tidak membatalkan shalat. Pekerjaan yang banyak, jika berbilangan dan tidak terus-menerus juga tidak membatalkan shalat (jika terus-menerus, maka batal). Dan ini adalah dalil dalam mazhab Syafi’i, perihal keabsahan shalat seseorang yang menggendong anak laki-laki atau pun perempuan, baik dalam shalat fardhu, maupun sunnah, bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendiri,” (Imam Syafi’i, halaman 369).

Simpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menggendong anak ketika shalat hukumnya boleh-boleh saja, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Hanya saja, kondisi anak yang digendong harus dalam keadaan suci, baik pakaian maupun badannya. Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Kami juga menerima saran dan masukan. Terima kasih.

 

Berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Buat Yang Belum Aqiqah

Buat Yang Belum Aqiqah

Buat Yang Belum Aqiqah. Lain aqiqah, lain aqiqahan. Aqiqahan ialah mengundang tetangga untuk membacakan ayat Al-Quran, zikir, atau maulid Barzanji yang kemudian memotong sedikit rambut bayi oleh sejumlah undangan secara bergantian saat mahallul qiyam. Yang punya hajat lalu meminta kiai setempat mendoakan si anak kelak menjadi orang punya manfaat dan kegunaan bagi masyarakat.

Sedangkan aqiqah secara harfiah sebutan bagi rambut di kepala bayi. Bayi orang atau binatang, sama saja. Kata ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Dimasak gulai dengan harapan akhlak si orok kelak manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.

Hukum aqiqah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, sempurna minimal dua ekor kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing. Tetapi pada prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi laki-laki maupun perempuan. Sementara sempurnanya, seorang wali tidak dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau. Artinya, silakan menyembelih berapa pun. Demikian kata Syekh Syarqowi dalam kitab Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir.

Sejumlah ulama mengatakan, aqiqah berfaedah memberikan mandat kepada si anak untuk memberikan syafa’at kelak kepada orang tuanya. Di lain pendapat, aqiqah bertujuan agar fisik dan akhlak si tumbuh dengan baik. Yang pasti, sedekah aqiqahan terlaksana.

Masa penyembelihan itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari pertama keluarnya si bayi masuk dalam hitungan. Kalau belum sempat di hari ketujuh karena beberapa uzur, boleh dilakukan pada hari keempat belas, dua puluh satu, dan kelipatan tujuh berikutnya.

Saat menyembelih yang disunahkan saat fajar menyingsing, dianjurkan membaca doa berikut,

باسم الله والله أكبر اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فلان

Dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali dalam hal ini bapaknya. Yang jelas, pembelian hewan itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena, aqiqah ini merupakan sedekah. Sedekah harus pakai uang sendiri, bukan orang lain. Juga jangan memaksakan diri hingga menghutang ke sana sini.

Adapun aqiqah anak zina ditanggung oleh ibu dengan cara sembunyi agar tidak membuka aibnya. Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa, diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib berikut,

ولو مات المولود قبل السابع فلا تفوت بموته ولا تفوت العقيقة بالتأخير بعده أى بعد يوم السابع فإن تأخرت أى الذبيحة للبلوغ سقط حكمها فى حق العاق عن المولود أى فلا يخاطب بها بعده لانقطاع تعلقه بالمولود حينئذ لاستقلاله أما هو أى المولود بعد بلوغه فمخير فى العق عن نفسه والترك فإما أن يعق عن نفسه أو يترك العقيقة, لكن الأحسن أن يعق عن نفسه تداركا لما فات

“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak balig, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”

Anak yang sudah baligh dihukumkan mandiri. Singkat kata, mereka menanggung sendiri kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala yang dilakukan, termasuk untung maupun rugi kalau berusaha. Wallahu A’lam. 

 

Klik gambar untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah?

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah?

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah? Aqiqah adalah ajaran agama islam yang sangat mulia sebagai wujud syukur telah diberikan amanah buah hati dari Allah. Pada hari ketujuh dari kelahiran bayi maka orang tua disunnahkan untuk memberikan nama yang baik, mencukur rambut bayi serta menyembelih hewan ternak (akikah) sebagai wujud syukur kepada Allah.

Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah :

قال رسول الله كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Setiap anak digadaikan dengan akikahnya, disembelih untuknya di hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur (rambutnya) serta diberikan nama’,” (HR Ahmad).

Seandainya seorang bayi keguguran di dalam kandungan. Maka ada dua perincian penting yaitu :

1. Bila keguguran di usia sebelum ditiupkannya ruh yaitu sebelum berusia 4 bulan atau 120 hari, maka tidak disunnahkan akikah.

2. Bila keguguran di usia setelah ditiupkannya ruh yaitu setelah berusia 4 bulan atau 120 hari, maka tetap sunnah akikah.

Hal ini sebagaimana pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, beliau beralasan karena bayi yang belum ditiupkan ruh (belum berusia 4 bulan atau 120 hari) nanti tidak dibangkitkan di hari kiamat serta tidak memberikan manfaat bagi orang tuanya di hari kiamat.

قال ابن حجر ومثله لا تستحب العقيقة كالتسمية عن السقط إلا إن نفخت فيه الروح إذ من لم تنفخ الروح فيه لا يبعث ولا ينتفع به في الآخرة

Artinya, “Imam Ibnu Hajar dan sesamanya berpendapat bahwa tidak disunnahkan akikah sebagaimana (tidak disunnahkan) memberikan nama dari bayi yang keguguran kecuali ketika telah ditiupkan ruh kedalamnya (sang bayi) karena bayi yang belum ditiupkan ruh tidak dibangkitkan (di hari kiamat) dan tidak bermanfaat (bagi orang tuanya) di akhirat,” (Al-Masyhur Abdurrahman bin Husan, Bughyah al-Mustarsyidin [KSA: Darul Minhaj, 2003 M], halaman 258).

Hukumnya sangat dianjurkan aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan untuk anak perempuan dengan dua ekor kambing. Seandainya bayi yang keguguran dan telah ditiupkan roh (usia 4 bulan atau 120 hari) setelah dicek USG (ultrasanografi) berjenis kelamin laki-laki maka aqiqahnya adalah dua ekor kambing, bila berjenis kelamin perempuan maka aqiqahnya adalah satu ekor kambing. Dan seandainya belum diketahui jenis kelamin bayi yang keguguran maka hendaknya akikah dengan dua ekor kambing untuk berhati-hati karena ada kemungkinan sang buah hati berjenis kelamin laki-laki.

Seandainya orang tuanya  sangat berkecukupan maka juga dibolehkan akikah lebih dari dua ekor kambing atau menyembelih hewan yang lebih besar seperti sapi ataupun unta sebagai akikah atas kelahiran sang bayi. Selain itu, dibolehkan berakikah dengan sistem iuran satu ekor sapi dengan niat akikah untuk tujuh anak.

ويسن أن يعق عن غلام بشاتين وجارية بشاة. وأفضل ثلاث وما زاد إلى سبع ثم بعير ثم بقرة. وتجوز مشاركة جماعة سبعة في بدنة أوبقرة سواء كان كلهم عن عقيقة أو بعضهم عن أضحية أو لا

Artinya, “Dan disunnahkan berakikah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Dan lebih utama lagi (dalam akikah) tiga ekor hingga tujuh ekor (kambing), kemudian (lebih utama lagi) dengan unta, kemudian (lebih utama lagi) dengan sapi. Dan dibolehkan menghimpun kelompok berjumlah tujuh orang membeli badanah (unta) ataupun sapi baik dengan niat seluruh kelompok tersebut untuk akikah atau sebagian dari mereka berniat berkurban ataupun tidak berniat kurban,” (Qalyubi Ahmad Salamah, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, [Beirut: Darul Fikr, 2003 M], juz IV, halaman 256).

Hukum sunnah akikah ini disesuaikan dengan kemampun orang tua sang bayi. Seandainya bayi yang yang lahir adalah laki-laki dan orang tua hanya mampu menyembelih seekor kambing maka diperbolehkan. Dan juga, seandainya tidak mampu menyembelih seekor kambing maka diperbolehkan menyembelih hewan halal yang mampu ia sembelih. Misal orang tuanya hanya mampu menyembelih ayam maka sudah mencukupi sebagai akikah sang anak. Hal ini sebagaimana pendapat Syekh Sirajuddin al-Bulqini :

والعقيقة مستحبة على المذهب وأقلها للمتمكن شاة ولغيره الإقتصار على ما يقدر عليه

Artinya, “Akikah adalah sunnah menurut mazhab (imam Asy-Syafi’I) dan minimal menyembelih satu ekor kambing bagi orang yang mampu, dan bagi selainnya (yang mampu menyembelih satu ekor kambing) cukup dengan menyembelih hewan yang mampu (disembelih),” (Al-Bulqini Sirajuddin, At-Tadrib fi al-Fiqh asy-Syafi’i, [KSA: Dar Qiblatain, 2012 M], juz III, halaman 163).

Simpulan di sini adalah sangat dianjurkan akikah bagi orang tua yang dianugerahi sang buah hati. Seandainya sang buah hati keguguran setelah berusia 4 bulan di dalam kandungan maka hendaknya tetap mengadakan akikah bagi sang buah hati. Meskipun sang buah hati telah wafat karena keguguran tetaplah ia sebagai karunia bagi orang tuanya yang patut disyukuri karna ia akan menjadi syafaat bagi orang tuanya di hari kiamat.

قال رسول الله إن السقط ليراغم ربه إذا دخل أبواه النار حتى يقال أيها السقط المراغم ربه ارفع فإني أدخلت أبويك الجنة

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Sungguh seorang bayi yang keguguran menundukkan kepalanya dihadapan Allah ketika kedua orang tuanya masuk neraka sehingga diserukan kepadanya (bayi keguguran tersebut) ‘Wahai bayi keguguran yang menundukkan kepalanya dihadapan tuhannya, angkatlah (kepalamu) sungguh aku (Allah) telah memasukkan kedua orang tuamu ke dalam surga’,” (HR Baihaqi).

 

Klik gambar untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

 

Source : nu.or.id

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter?

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter?

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter? Dalam fiqih Islam diketahui bahwa wanita hamil, demikian pula wanita menyusui, boleh tidak puasa bila mengkhawatirkan kesehatan dirinya, bayinya, atau diri dan bayinya sekaligus. Inilah prinsip umum keringanan boleh tidak berpuasa bagi keduanya.

Baca Juga: Ragu Cairan yang Keluar Madzi atau Mani, Wajibkah Mandi Junub?   Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Kitab Fathul Qarib menjelaskan :

والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما) ضررا يلحقهما بالصوم كضرر المريض (أفطرتا، و) وجب (عليهما القضاء وإن خافتا على أولادهما) أي إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع ( أفطرتا وعليهما القضاء) للإفطار (والكفارة) أيضا. والكفارة أن يخرج (عن كل يوم مد)  

Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir terhadap bahaya yang mengganggu kesehatan dirinya sebab melakukan puasa, seperti bahayanya orang sakit, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya. Bila mereka khawatir terhadap bahaya yang menimpa anaknya, yaitu anaknya keguguran bagi wanita hamil, dan air susu menjadi sedikit bagi wanita menyusui, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya karena tidak puasa dan wajib membayar kafarat atau tebusan. Adapun ukuran kafarat yang dimaksud adalah dari setiap hari wajib membayar satu mud (kurang lebih 7 ons) makanan pokok.” (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib pada Hasyiyah Al-Bajuri, [Semarang, Toha Putera], juz I, halaman 300-301).

Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah istilah “khauf” atau khawatir. Khawatir di sini adalah dugaan kuat berdasarkan indikator yang jelas bahwa gangguan kesehatan tersebut akan terjadi bila nekat berpuasa.

أَمَّا الْخَوْفُ: فَهُوَ تَوَقُّعُ مَكْرُوهٍ عَنْ أَمَارَةٍ مَظْنُونَةٍ أَوْ مُتَحَقَّقَةٍ  

Artinya, “Kekhawatiran adalah ketakutan terjadinya hal yang tidak disenangi berdasarkan indikator yang bersifat dugaan atau yang bersifat pasti.” (Al-Maushu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Mesir, Darus Shafwah: 1404 H], juz XXVII, halaman 214).

Kekhawatiran tidak bisa hanya berdasarkan kira-kira tanpa ada indikator yang menunjukkan gangguan kesehatan benar-benar akan terjadi. Dalam istilah fiqih perkiraan tanpa indikator yang mendukung seperti itu disebut sebagai “wahm” atau “tawahhum”, yang tidak cukup untuk dijadikan dasar orang tidak berpuasa.

التَّوَهُّمُ فِي اللُّغَةِ : الظَّنُّ . وَفِي الاِصْطِلاَحِ عَرَّفَهُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهُ : تَجْوِيزُ وُجُودِ الشَّيْءِ فِي الذِّهْنِ تَجْوِيزًا مَرْجُوحًا … لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ التَّوَهُّمَ بِالْمَعْنَى الْمُتَقَدِّمِ لاَ عِبْرَةَ لَهُ فِي الأَْحْكَامِ  

Artinya, “Tawahhum dalam bahasa bermakna dugaan. Sementara dalam istilah fiqih sebagian Fuqaha mendefinisikannya dengan pengertian membenarkan wujudnya sesuatu di hati dengan pembenaran yang tidak unggul (daripada kemungkinan sebaliknya) … Tidak ada perbedaan pendapat di antara Fuqaha dalam hal bahwa tawahhum dengan arti seperti itu tidak dipertimbangkan dalam hukum.” (Al-Kuwaitiyah, XIV/203).

Lalu kekhawatiran dengan dasar atau indikator seperti apa yang membolehkan wanita hamil boleh tidak berpuasa?   Dalam hal ini kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pengalaman atau petunjuk dokter.

Semisal wanita hamil atau wanita menyusui pernah mengalami gangguan kesehatan baik diri atau bayinya karena nekat berpuasa. Di waktu berikutnya bila ada indikasi ia akan sakit bila nekat berpuasa, seperti badannya mulai lemas dan semisalnya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan pengalaman yang telah berlalu.

Atau semisal wanita hamil atau wanita menyusui khawatir akan mengalami gangguan kesehatan baik pada diri atau bayinya bila nekat berpuasa, lalu ia chek kesehatan dan diberi petunjuk oleh dokter untuk tidak berpuasa dahulu demi menjaga kesehatannya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan petunjuk dokter itu.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan :

الحمل والرضاع: يباح للحامل والمرضع الإفطار إذا خافتا على أنفسهما أو على الولد ، سواء أكان الولد ولد المرضعة أم لا، أي نسباً أو رضاعاً، وسواء أكانت أماً أم مستأجرة، وكان الخوف نقصان العقل أو الهلاك أو المرض، والخوف المعتبر: ما كان مستنداً لغلبة الظن بتجربة سابقة، أو إخبار طبيب مسلم حاذق عدل  

Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui. Bagi wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir atas kesehatan mereka atau kesehatan anak, baik anak yang disusui itu adalah anak wanita yang menyusui atau bukan, maksudnya anak biologis atau anak karena persusuan, baik yang menyusui itu ibunya atau wanita yang disewa untuk menyusui anak orang lain, dan baik kekhawatiran itu adalah khawatir berkurangnya akal anak, khawatir mati atau sakit. Kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pada dugaan kuat sebab pengalaman yang telah lalu atau berita petunjuk dari seorang dokter muslim, yang pandai dan adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh), [Damaskus, Darul Fikr], juz III, halaman 78).

Penjelasan serupa dapat dilihat di Kitab Al-Lubab fi Syarhil Kitab halaman 86 dan Kitab Nurul Idhah halaman 111.

Kembali pada pertanyaan, apakah wanita hamil yang sering kelelahan boleh tidak berpuasa? Apakah tidak puasanya itu cukup dengan perkiraan sendiri atau harus berdasarkan petunjuk dokter?

Maka jawaban ringkasnya adalah wanita hamil yang sering kelelahan boleh tidak berpuasa dengan dasar pengalamannya atau berdasarkan petunjuk dokter yang dapat dipercaya kalau nekat berpuasa akan sakit. Sebaliknya, ia tidak boleh tidak berpuasa hanya berdasarkan perkiraan akan sakit bila berpuasa, tanpa indikator yang menguatkan perkiraannya tersebut.  

Demikian jawaban yang kami sampaikan. Semoga jawaban dapat dipahami secara baik. Kami terbuka dengan kritik dan saran untuk penyempurnaan. Wallahu a’lam.

 

Klik untuk berkurban murah, mudah, dan gratis :

Source : nu.or.id

Hukum Kurban Dengan Hewan Yang Punya 1 Testis

Hukum Kurban Dengan Hewan Yang Punya 1 Testis

Hukum Kurban Dengan Hewan Yang Punya 1 Testis. Kurban merupakan praktik ibadah yang dilakukan oleh umat muslim pada hari raya Idul Adha sebagai bentuk pengorbanan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.  

Praktik kurban merujuk pada kisah Nabi Ibrahim alaihis salam yang siap untuk mengorbankan putranya, Ismail alaihis salam, sebagai bentuk taat kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai pengorbanan. Agama mengatur beberapa syarat yang berkaitan dengan kurban mulai dari waktu penyembelihan, kriteria hewan yang sah dibuat untuk kurban, tata cara penyembelihan, hingga soal pendistribusian.

Masyarakat yang akan menjual maupun membeli hewan untuk kurban harus mengetahui beberapa aturan syariah terkait hewan kurban. Mengingat hal tersebut, perlu ada ketelitian agar bisa mendapatkan hewan yang benar-benar memenuhi kriteria sebagai hewan kurban dan tidak cacat.

Beberapa cacat hewan yang tidak memenuhi kriteria untuk dibuat berkurban adalah :

  1. Pincang (‘arja’)
  2. Buta salah satu mata (‘aura) atau keduanya (‘amya’)
  3. Telinga putus
  4. Ekor putus sebagian atau keseluruhan. Apabila tidak punya ekor sudah bawaan sejak lahir, hukumnya sah digunakan untuk berkurban.
  5. Terlalu kurus sehingga sumsum dagingnya mengering (ajfa’)
  6. Kudisan yang tampak jelas (jarba’)
  7. Gila

Imam Nawawi dalam Minhajuth Thalibin mengatakan :

وشرطها سلامة من عيب ينقص لحما فلا تجزىء عجفاء ومجنونة ومقطوعة بعض أذن وذات عرج وعور ومرض وجرب بين ولا يضر يسيرها ولا فقد قرون وكذا شق الإذن وخرقها في الأصح.

Artinya : “Syarat hewan kurban adalah selamat dari cacat yang mengakibatkan berkurangnya daging. Tidak cukup kurban dengan hewan yang terlalu kurus, gila, sebagian telinga terputus, pincang, buta mata sebelah, sakit, kudisan yang sangat tampak.” (An-Nawawi, Minhajuth Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, 2005], hlm. 320).

Lalu bagaimana dengan hewan yang tidak mempunyai buah testis (buah dzakar) atau hewan yang hanya mempunyai satu buah testis?

Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa hewan yang tidak mempunyai buah testis tidak merupakan sebuah cacat yang menghalangi keabsahan hewan sebagai hewan kurban karena dengan ketiadaan buah testis atau sama dengan hewan ini dikebiri justru malah membuat dagingnya semakin bertambah.

ولا يؤثر فوات خصية وقرن لأنه لا ينقص اللحم بل الخصاء يزيده

Artinya : “Hilang buah testis dan tanduk tidak berpengaruh (terhadap keabsaan hewan kurban) karena tidak sampai mengurangi daging bahkan pengebirian hewan justru malah menambah daging semakin banyak,” (Ibnu Hajar al-Haitimi, Al-Minhajul Qowim Syarahul Muqoddimah al-Hadromiyah, [Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2000], hlm 308]

Tidak hanya buah testis, cacat-cacat yang yang tidak mempengaruhi berkurangnya daging juga dapat digunakan untuk berkurban, seperti :

  1. Telinga robek yang tidak sampai terputus. Adapun apabila terputus walaupun hanya sebagian atau bahkan tidak punya telinga sama sekali, maka tidak sah dijadikan hewan kurban.
  2. Lemah penglihatan yang tidak sampai level buta (‘amsya’).
  3. Ada stampel cap kayy atau cos dengan besi panas (makwiyah)
  4. Rabun malam (‘asywa’)
  5. Tidak memiliki kantong susu, pantat, atau ekor sejak lahir.
  6. Tidak memiliki tanduk atau tanduknya pecah yang tidak sampai menyebabkan rusak atau berkurangnya daging. (Lihat : Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib, [Darul Kitab al-Islami, tt], juz 1, hlm. 535-536)

Dengan demikian, hewan kurban yang tidak memiliki salah satu biji testis atau bahkan kedua-duanya, hukumnya tetap sah dibuat untuk berkurban. Wallahu a’lam.

Klik untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Cara Rasul Mendidik Anak Pembangkang

Cara Rasul Mendidik Anak Pembangkang

Cara Rasul Mendidik Anak Pembangkang. Dalam kitab Sunan Abî Dawud, Imam Abu Dawud Sulaiman memasukkan sebuah riwayat menarik tentang Sayyidina Anas dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut riwayatnya :

قَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا أَذْهَبُ وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَابِضٌ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ, قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ أَنَسٌ: وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُ هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا

Anas bin Malik berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya).’ Padahal diriku sebenarnya ingin pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku.”

Anas berkata : “Lalu aku keluar (rumah). Aku melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tengkukku dari belakang, aku melihat kepadanya, dan beliau sedang tertawa, kemudian berkata: “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).” Aku menjawab : “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.” 

Anas berkata : “Demi Allah, sudah tujuh atau sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau melakukannya begini dan begini,” atau mengomentari (kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau tidak melakukan ini dan ini.” (Imam Abu Dawud, Sunan Abî Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt, juz 4, h. 246-247)

***

Sayyidina Anas bin Malik berasal dari suku Najjar, salah satu klan dari suku Khajraz di Yatsrib (Madinah). Ayahnya bernama Malik bin Nadhr meninggal sebelum memeluk Islam, kemudian ibunya, Ummu Sulaim, menikah lagi dengan Sayyidina Abu Thalhah al-Anshari, seorang sahabat nabi yang turut serta dalam Bai’at al-‘Aqabah yang kedua. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, banyak orang yang memberinya hadiah, tapi Ummu Sulaim tidak mampu mengupayakan itu. Dalam salah satu riwayat diceritakan (HR. Imam al-Turmudzi) :

قدم رسول الله المدينة وأنا ابن ثمان سنين، فأخذت أمي بيدي، فانطلقت بي إليه، فقالت: يا رسول الله, لم يبق رجل ولا امرأة من الأنصار إلا وقد أتحفك بتحفة، وإني لا أقدر على ما أتحفك به إلا ابني هذا، فخذه، فليخدمك ما بدا لك, قال: فخدمته عشر سنين، فما ضربني، ولا سبني، ولا عبس في وجهي

“Rasulullah datang ke Madinah saat aku berusia delapan tahun, kemudian ibuku menggandeng tanganku dan membawaku pada Rasulullah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidak seorang laki-laki dan perempuan pun dari kaum Anshar yang datang kepadamu kecuali memberi hadiah untukmu, sedang aku tidak mampu memberimu hadiah kecuali anakku ini. Ambillah, agar ia bisa melayanimu.” Anas berkata : “Aku mengabdi pada Rasulullah sepuluh tahun lamanya, tidak pernah sekalipun beliau memukul, mencaci atau berwajam masam kepadaku.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2001, juz 3, h. 399)

Riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidina Anas adalah anak kecil yang memiliki dunianya sendiri, gemar bermain dan bersenang-senang. Andaipun disuruh melakukan sesuatu, tanpa segan ia mengatakan, “tidak”, meski yang menyuruhnya adalah Rasulullah. Ini bukan hal yang aneh, karena begitulah anak kecil. Yang menarik di sini adalah cara bersikap Rasulullah. Mendengar kalimat, “aku tidak akan pergi melakukannya,” beliau tidak menampakkan kemarahan, berwajah masam dan menghardiknya dengan keras, tapi meninggalkannya. Baru kemudian, ketika beliau menjumpai Sayyidina Anas di pasar, beliau memegang tungkuknya dan berkata, “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”

Dan Sayyidina Anas menjawab, “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.” Ini menarik, karena Rasulullah tidak bertanya, “apa kau sudah melaksanakan perintahku?” Jika Rasulullah menanyakan itu, bisa jadi Sayyidina Anas bingung menjawabnya, karena ia belum melakukannya, bisa saja pertanyaan semacam itu membuatnya terpojok dan akhirnya berbohong. Karena itu, Rasulullah menggunakan pendekatan teladan yang baik dan mudah dimengerti oleh anak kecil, didukung dengan wajah beliau yang sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, malah tertawa lepas tanpa beban.

Hal menarik lainnya adalah jeda yang diberikan Rasulullah. Ketika perintahnya ditolak Sayyidina Anas, beliau memberinya ruang agar ia tidak merasa ditekan. Anak kecil tentunya berbeda dengan orang dewasa. Bagi anak kecil, ancaman dirasakan sebagai tekanan, karena fitrahnya memang suka bermain-main. Karena itu, selama sepuluh tahun melayaninya, Rasulullah tidak pernah sekalipun berkata kasar dan menyalahkannya. Sayyidina Anas bercerita (HR. Imam Ahmad) :

خدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ وَمَا كُلُّ أَمْرِي كَمَا يُحِبُّ صَاحِبِي أَنْ يَكُونَ مَا قَالَ لِي فِيهَا أُفٍّ وَلَا قَالَ لِي لِمَ فَعَلْتَ هَذَا وَأَلَّا فَعَلْتَ هَذَا

“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun. Tidak semua pekerjaanku sesuai dengan perintah beliau, (tapi) beliau tidak pernah berkata kepadaku (karena ketidak-becusanku) “ah/dasar”, dan tidak pernah (juga) berkata padaku, “kenapa kau lakukan ini?” dan “kenapa tidak kau lakukan (seperti) ini?”

Artinya, Rasulullah sedang mendidik Sayyidina Anas dengan keteladanan, sehingga kesan yang ditangkap olehnya adalah kelembutan pekerti dan kemuliaan akhlak. Sikap Rasulullah inilah yang menumbuhkan rasa tidak enak hati secara alami dalam perasaan Sayyidina Anas. Karena selama bertahun-tahun bersama Rasulullah, ia tidak pernah merasa dipertentangkan dengan keadaan yang membuatnya berbohong, dan dibandingkan dengan anak kecil lainnya hingga menimbulkan perasaan kurang dihargai. Sikap Rasulullah ini menunjukkan bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang tidak bisa dipandang secara menyeluruh dengan perspektif orang dewasa.

Karena itu, Rasulullah memperlakukan Sayyidina Anas sebagai anak kecil, bukan sebagai orang dewasa, sehingga apapun kesalahan yang dilakukannya, ia tidak menyalahkannya, tapi memberinya contoh yang benar. Nasihat dan kata-kata memang berarti, tapi bagi anak-anak, contoh keteladanan jauh lebih terasa artinya. Ini bisa dilihat dari sekian banyak riwayat yang menceritakan bagaimana Rasulullah bergaul dengan anak kecil, baik cucunya sendiri, maupun orang lain, termasuk Sayyidina Anas.

Pada akhirnya, Sayyidina Anas bin Malik menjadi maha guru. Ia meriwayatkan ribuan hadits, memiliki banyak murid, dan menjadi penjaga ilmu. Menurut satu pendapat, ia meriwayatkan sekitar 2.286 hadits, dengan murid yang sangat banyak. Ia memiliki banyak anak dan umur yang panjang, sebagaimana doa Rasulullah untuknya, saat ibunya meminta Rasulullah mendoakannya, “allahumma aktsir mâlahu wa waladahu wa athil ‘umrahu waghfir dzanbahu—Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkanlah umurnya, dan ampunilah dosanya.” (Imam Ibnu al-Jauziy, Shifat al-Shafwah, Kairo: Darul Hadits, 2000, juz 1, h. 278)

Sayyidina Anas bin Malik wafat di usia yang sangat tua karena penyakit kusta. Mengenai di usia berapa ia meninggal, para ulama berbeda pendapat. Abu Ubaid, Qatadah, Hamid dan al-Haitsam bin ‘Adi berpendapat Anas meninggal di usia 91 tahun; al-Waqidi berpendapat di usia 92 tahun; Ibnu ‘Aliyah, Sa’id bin ‘Amir, dan Abu Nu’aim berpendapat di usia 93 tahun; pendapat lainnya mengatakan di usia 103 atau 107 tahun (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, 2001, juz 3, h. 406-407).

Intinya, kita harus memperlakukan anak kecil sebagai anak kecil. Jangan paksakan padangan orang dewasa kepada mereka. Karena standar kebenaran anak kecil, belum semapan orang dewasa. Kebenaran bagi mereka masih berganti-ganti, sesuai selera kesenangan mereka. Di samping itu, kita juga harus mengedepankan keteladanan dalam bergaul dengan mereka. Nasihat dan penjelasan tetap harus dilakukan, tapi keteladanan tak bisa ditinggalkan. Bukankah demikian seharusnya? Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Klik gambar untuk berkurban mudah, murah, dan sah : 

Source : nu.or.id

Cara Efektif Mendidik Anak Menurut Imam Al-Ghazali

Cara Efektif Mendidik Anak Menurut Imam Al-Ghazali

Cara Efektif Mendidik Anak Menurut Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali melalui Kitab Ihya Ulumiddin membahas juga aspek parenting dalam Islam. Imam Al-Ghazali menganggap penting pendidikan anak karena anak merupakan amanah dari Allah bagi kedua orang tuanya selain tanggung jawab urusan nafkah yang berkaitan dengan fisik anak.

Imam Al-Ghazali memandang jiwa anak-anak seperti kertas kosong tanpa coretan dan garis apapun. Jiwa anak-anak siap ditulis dan akan menerima model tulisan apapun yang tercermin dalam jiwanya. Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali menilai urgensi cara orang tua dan lingkungan sekitar yang akan menulis dan membentuk jiwa anak.

اعلم أن الطريق في رياضة الصبيان من أهم الأمور وأوكدها والصبيان أمانة عند والديه وقلبه الطاهر جوهرة نفيسة ساذجة خالية عن كل نقش وصورة وهو قابل لكل ما نقش ومائل إلى كل ما يمال به إليه  

Artinya : “Ketahuilah cara mendidik anak termasuk masalah yang paling penting dan paling urgen. Anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. Hati mereka suci, mutiara berharga, bersih dari segala ‘ukiran’ dan rupa. Hati anak-anak menerima setiap ‘ukiran’ dan cenderung pada ajaran yang diberikan kepada mereka,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 77).

Imam Al-Ghazali menyarankan dua model pendekatan dalam mendidik anak. Imam Al-Ghazali menyarankan orang tua untuk membiasakan atau memberikan contoh perbuatan baik dalam keseharian anak. Imam Al-Ghazali juga menyarankan orang tua untuk mengajar kebaikan kepada anaknya.

Dua model pendekatan dalam mendidik anak sangat penting. Pertama, pembiasaan kebaikan dalam hidup keseharian akan membekas dalam jiwa anak. Kedua, penanaman nilai-nilai kebaikan juga tidak kalah pentingnya untuk memberikan standar kebaikan dalam jiwa anak.

Imam Al-Ghazali mengatakan, orang tua memikul tanggung pendidikan karakter dan pengasuhan anak. Orang tua akan menuai pahala ketika mendidik anaknya dengan baik. Sebaliknya, orang tua akan memikul dosa yang begitu besar ketika membiarkan begitu saja pertumbuhan anaknya. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh lalai dan abai dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing anak.

فإن عود الخير وعلمه نشأ عليه وسعد في الدنيا والآخرة وشاركه في ثوابه أبوه وكل معلم له ومؤدب وإن عود الشر وأهمل إهمال البهائم شقي وهلك وكان الوزر في رقبة القيم عليه والوالي له

Artinya : “Jika orang tua membiasakan dan mengajarkan kebaikan, maka anak akan tumbuh dalam kebaikan dan bahagialah orang tuanya di dunia dan akhirat. Ia pun akan mendapat pahala dari amal saleh yang dilakukan anaknya (tanpa mengurangi hak pahala anak). Demikian juga berlaku bagi setiap guru dan pendidik. Jika ia membiasakan keburukan dan membiarkan anaknya seperti membiarkan binatang ternak, maka ia akan celaka dan binasa. Sementara dosanya juga ditanggung pengasuh dan walinya,” (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: III/77).

Imam Al-Ghazali mengutip Al-Qur’an Surat At-Tahrim ayat 6. Menurutnya, Surat At-Tahrim ayat 6 menyiratkan tanggung jawab besar orang tua dalam mendidik, membimbing, dan mengasuh anak.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا  

Artinya : “Wahai orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” (Surat At-Tahrim ayat 6).

Dari berbagai keterangan ini, Imam Al-Ghazali mengingatkan orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan, bimbingan, dan pengasuhan anak, tidak mengabaikan mereka tanpa pendidikan agama dan pendidikan akhlak dalam kesehariannya.

Klik gambar untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

2 Bacaan Yang Harus Pertama Kali Diajarkan Pada Anak

2 Bacaan Yang Harus Pertama Kali Diajarkan Pada Anak

2 Bacaan Yang Harus Pertama Kali Diajarkan Pada Anak. Orang tua mempunyai peran yang sangat vital terhadap masa depan anaknya. Melalui teladan, nilai-nilai, dan pendidikan moral yang diberikan, orang tua sangat berpengaruh terhadap pembangunan sikap, nilai, dan prinsip yang akan menjadi dasar perilaku anak di masa depan.

Peran orang tua dalam mengenalkan Allah atau tauhid kepada anak di masa kecil menjadi satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Melalui percakapan, teladan, dan lingkungan yang kaya akan nilai-nilai agama, akan membantu peningkatan anak dalam pemahaman-pemahaman tauhid pada level dasar.

Di dalam Al-Qur’an, Allah memberikan sosok teladan yang bernama Luqman al-Hakim. Pria berkulit hitam ini bukanlah seorang nabi, namun Allah mengabadikan namanya dan menjadikan Luqman sebagai teladan umat Muhammad.

Pendidikan dasar yang diajarkan Luqman kepada anaknya sehingga ia menjadi teladan adalah soal tauhid, yaitu meyakini keesaan Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah menceritakan :

 وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar,” (QS. Luqman: 13)

Tauhid adalah satu hal yang bersifat teologis-dogmatis, keyakinan tentang Allah sebagai Tuhan menjadi pelajaran pertama seorang anak. Imam Ibnu Ruslan dalam nadzam Matan Az-Zubad mengatakan:

أول واجب على الإنسان     معرفة الإله باستيقان 

Artinya : “Kewajiban pertama kali bagi manusia adalah mengenal Tuhan dengan penuh keyakinan,” 

Dalam nadzam berikutnya, Ibnu Ruslan menjelaskan :

و النطق بالشهادتين اعتبرا   لصحة الإيمان ممن قدرا   ان صدق القلب

Artinya : “Mengucapkan kedua kalimat syahadah, untuk keabsahan iman bagi orang yang mampu, jika hati membenarkannya” (Ibnu Ruslan, Matan Az-Zubad, (Makkah, Maktabah Ats-Tsaqafah, 1984), hlm. 9)

Pendidikan orang tua yang wajib diajarkan pertama kali terhadap anak adalah mengenalkan Allah dengan cara mengajari mereka dengan dua kalimah syahadat yaitu :

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ    وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Asyhadu an lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna muhammadar rasûlullâh.

Artinya : “Saya bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah,” 

Iman yang paling tepat adalah hatinya yakin, mulutnya berikrar mau mengakui atau ber-tauhid, serta amal atau tindakannya sesuai. Barangsiapa mulut dan sikapnya sudah tepat, namun hatinya tidak iman, orang ini disebut sebagai orang munafik. Barangsiapa hatinya yakin, sikapnya bagus, namun mulutnya tidak mau berikrar iman, orang ini namanya adalah orang kafir. Sedangkan hati iman, mulut sesuai, tapi sikapnya tidak sesuai, orang seperti ini masuk kategori orang fasik. (Ahmad ar-Ramli, Fathurrahman, (Beirut: Darul Minhaj, 2009), hlm. 50)

Selain syahadat, pelajaran yang juga perlu diajarkan orang tua terhadap anaknya adalah soal kerelaan mereka terhadap Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad sebagai utusan. Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur mengatakan, satu hal yang pertama kali diajarkan ulama salaf terhadap anak-anak mereka adalah bacaan :

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وِبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا

Radhītu billāhi rabbā, wa bil islāmi dīnā, wa bi Muhammadin shallallāhu ‘alaihi wa sallama nabiyyan wa rasūlā.

Artinya : “Aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi dan rasul,” (Habib Zein bin Ibrahin bin Sumaith, Al-Manhajus Sawi, (Tarim: Darul Ilmi wad Da’wah, 2005) hlm. 506)

Ikrar ‘radhîtu’ ini sangat penting karena kalimat ini merupakan sebuah pengakuan atau sebuah bentuk deklarasi seseorang atas keimanannya. Barangsiapa yang benar-benar mengakui bahwa Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Nabi Muhammad sebagai Nabi, berarti eksistensi ketiga hal ini diakui oleh orang tersebut.

Apabila seseorang meyakini ketiga hal ini eksis, otomatis orang tersebut akan patuh terhadap semua aturan-aturan yang telah ditetapkan baik soal ibadah, halal-haram, hudud, muamalat, munakahat, dan lain sebagainya. Walhasil, ada dua bacaan yang wajib diajarkan pertama kali oleh orang tua pada anaknya yaitu pelajaran membaca dua kalimat syahadah dan radlitu. Wallahu a’alam. 

 

Klik gambar untuk berqurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Jasa aqiqah No #1 Terbesar di Indonesia yang memiliki 52 Cabang tersebar di pelosok Nusantara. Sudah menjadi Langganan Para Artis.

KANTOR PUSAT

FOLLOW US

Follow dan subscribe akun sosial media kami, dan dapatkan Give Away setiap minggunya

Copyright © 2024 Aqiqah Nurul Hayat