Melantunkan Adzan dan Iqamah Ketika Lahirnya Seorang Bayi

Melantunkan Adzan dan Iqamah Ketika Lahirnya Seorang Bayi

Melantunkan Adzan dan Iqamah Ketika Lahirnya Seorang Bayi. Anak adalah titipan Ilahi. Anak merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik. Dalam upaya itulah seringkali orang tua berusaha sedemikian rupa agar kelak anak-anaknya menjadi orang yang shaleh/sholehah berguna bagi masyarakat dan agama. Dalam hal kesehatan jasmani, semenjak dalam kandungan oang tua telah berusaha menjaga kesehatannya dengan berbagai macam gizi yang dimakan oleh sang ibu. Begitu juga kesehatan mentalnya. Semenjak dalam kandungan orang tua selalu rajin berdoa dan melakukan bentuk ibadah tertentu dengan harapan amal ibadah tersebut mampu menjadi wasilah kesuksesan calon si bayi.

Oleh karena itu ketika dalam keadaan mengandung pasangan orang tua seringkali melakukan riyadhoh untuk sang bayi. Misalkan puasa senin-kamis atau membaca surat-surat tertentu seperti Surat Yusuf, Surat maryam, Waqiah, al-Muluk dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan dengan tujuan tabarrukan dan berdoa semoga si bayi menjadi seperti Nabi Yusuf bila lahir lelaki. Atau seperti Siti Maryam bila perempuan dengan rizki yang melimpah dan dihormati orang.

Begitu pula ketika sang bayi telah lahir di dunia, do’a sang Ibu/Bapak tidak pernah reda. Ketika bayi pertama kali terdengar tangisnya, saat itulah sang ayah akan membacakannya kalimat adzan di telinga sebelah kanan, dan kalimat iqamat pada telinga sebelah kiri. Tentunya semua dilakukan dengan tujuan tertentu. Lantas bagaimanakah sebenarnya Islam memandang hal-hal seperti ini? Bagaimanakah hukum mengumandangkan adzan dan iqamah pada telinga bayi yang baru lahir? berdasarkan sebuah hadits dalam sunan Abu Dawud (444) ulama bersepakatn menghukumi hal tersebut dengan sunnah :

عن عبيد الله بن أبى رافع عن أبيه قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن فى أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (سنن أبي داود رقم 444)

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ r.a Dari ayahnya, ia berkata: aku melihat Rasulullah saw mengumandangkan adzan di telinga Husain bin Ali ketika Siti Fatimah melahirkannya (yakni) dengan adzan shalat. (Sunan Abu Dawud: 444)

Begitu pula keterangan yang terdapat dalam Majmu’ fatawi wa Rasail halaman 112. Di sana diterangkan bahwa: “yang pertama mengumandangkan adzan di telinga kanan anak yang baru lahir, lalu membacakan iqamah di telinga kiri. Ulama telah menetapkan bahwa perbuatan ini tergolong sunnah. Mereka telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya. Perbiatan ini ada relevansi, untuk mengusir syaithan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagaimana ada keterangan di dalam hadits. (Sumber; Fiqih Galak Gampil 2010)

 

Klik di sini untuk pemesanan Aqiqah Nurul Hayat :

 

Source : nu.or.id

Cara Menyikapi Anak Menangis Saat Sholat

Cara Menyikapi Anak Menangis Saat Sholat

Cara Menyikapi Anak Menangis Saat Sholat. Saat orang tua memiliki anak yang masih bayi, berbagai macam problema seringkali muncul seiring dengan aktivitas bayi yang begitu beraneka ragam. Orang tua dituntut untuk memberi perhatian dan perawatan pada bayi secara intens untuk menunjang kesehatan tubuh dan mental bayinya. Kewajiban orang tua dalam hal merawat bayi ini, tetap tidak bisa menafikan kewajibannya dalam hal beribadah kepada Allah ﷻ.

Seringkali kita temukan, bagaimana saat orang tua sedang melaksanakan ibadah shalat, tiba-tiba bayinya yang masih kecil menangis. Keadaan seperti ini jelas mengganggu kekhusyuan ibadah shalat yang dilakukan oleh orang tua, bolehkah dalam keadaan seperti ini ia membatalkan shalatnya?

Dalam Al-Qur’an dijelaskan :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ 

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.” (QS. Muhammad, Ayat 33)

Berdasarkan ayat di atas, membatalkan sebuah ibadah adalah sebuah tindakan yang dilarang secara syariat. Lebih jauh lagi membatalkan ibadah (shalat) fardhu tidak diperbolehkan dalam syariat kecuali adanya tuntutan-tuntutan syara’ yang bersifat darurat seperti menyelamatkan nyawa orang lain, membunuh ular yang ada di dekatnya, dan contoh-contoh lain yang serupa. Seperti penjelasan yang terdapat dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah :

أما قطعها بمسوغ شرعي فمشروع فتقطع الصلاة لقتل حية ونحوها للأمر بقتلها وخوف ضياع مال له قيمة له أو لغيره ولإغاثة ملهوف وتنبيه غافل أو نائم قصدت إليه نحو حية ولا يمكن تنبيهه بتسبيح 

“Memutus ibadah fardhu dengan alasan yang dibenarkan syariat dianjurkan. Sehingga, shalat harus dibatalkan dengan alasan membunuh ular karena adanya perintah (dari syara’) untuk membunuhnya. Dan alasan khawatir sia-sianya harta miliknya atau milik orang lain, menolong orang yang sedang kesusahan, memperingatkan orang yang lupa atau orang tidur yang akan diserang oleh ular, dan tak mampu memperingatkannya dengan tasbih.” (Kementrian Agama Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Mesir, Darus Shofwah, juz 34 hal. 51)

Membatalkan shalat hanya karena tangisan bayi, bukan merupakan bagian dari hal yang dianjurkan oleh syara’ sehingga tidak diperbolehkan bagi orang tua untuk meninggalkan shalat yang tengah ia lakukan kecuali tangisan bayi mengindikasikan keadaan yang dikhawatirkan akan keselamatan nyawanya, dan hal ini jarang sekali terjadi.

Solusi dalam menyikapi problem ini adalah orang tua mempercepat shalatnya sekiranya hanya melakukan rukun-rukun shalat saja tanpa melakukan kesunnahan yang ada dalam shalat. Hal ini seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dalam menyikapi kasus yang sama. Seperti yang terdapat dalam hadits :

إِنِّي لاَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ 

“Saat Aku sedang shalat, aku ingin memperlama shalatku, lalu aku mendengar tangisan bayi, aku pun mempercepat shalatku khawatir akan memberatkan (perasaan) ibunya” (HR. Bukhari Muslim)

سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطُّ أَخَفَّ صَلاَةً وَلاَ أَتَمَّ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ لَيَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فيخفف مخافة أن تفتن أمه

“Aku mendengar Sahabat Anas bin Malik berkata “Aku tidak pernah shalat di belakang imam yang lebih cepat dan lebih sempurna shalatnya dari Nabi Muhammad ﷺ. Saat Nabi Muhammad mendengar tangisan bayi, ia mempercepat (shalatnya) khawatir ibunya merasa tertekan” (HR. Bukhari)

Berbeda ketika orang tua sedang melakukan shalat sunnah, seperti shalat qabliyyah, ba’diyyah, dhuha, atau lainnya. Dalam keadaan seperti ini boleh baginya untuk membatalkan shalat yang tengah ia lakukan. Demikian sekilas penjelasan tentang tema ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak boleh bagi orang tua yang tengah melakukan shalat untuk membatalkan shalatnya hanya karena khawatir akan tangisan bayi. Wallahu a’lam. 

 

Klik di sini untuk pemesanan Aqiqah Nurul Hayat :

 

Source : nu.or.id

Disebut Mampu Berkurban Jika…

Disebut Mampu Berkurban Jika…

Disebut Mampu Berkurban Jika….  Sebuah syiar Islam akan segera datang menghampiri kita semua yaitu hari raya Idul Adha atau biasa disebut sebagai hari raya kurban, sebab pada hari itu umat Muslim di dunia akan melaksanakan ibadah kurban. Ibadah kurban memiliki nilai hikmah yang sangat besar, di antaranya adalah berbagi kegembiraan kepada mereka yang membutuhkan, memperkuat tali persaudaraan di antara umat Muslim dan menanamkan rasa kasih sayang di antara mereka.Ibadah kurban merupakan salah satu ibadah sunah yang sangat dianjurkan.

Ada ayat yang menerangkan tentang berqurban seperti

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ    

“Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban”(QS. al Kautsar ayat 2).

Di saat situasi ekonomi serba sulit seperti masa pandemi ini, banyak orang merasa tidak mampu berkurban. Lantas sejauh mana batasan orang yang mampu berkurban?

orang yang dikatakan mampu adalah orang yang sudah mencukupi keluarganya dan memiliki harta melebihi harga binatang yang dikorbankan

Syarat utama dalam melaksanakan qurban menurut ulama

Menurut Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkata :

 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية وقد سبقت المسألة في أول الباب

Artinya, “Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang. Tetapi kalau salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka memadailah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah. Masalah ini sudah dibahas di awal bab,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

Menurut Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :

هي سنة في حقنا لحر أو مبعض مسلم مكلف رشيد نعم للولي الأب أو الجد لا غير التضحية عن موليه من مال نفسه كما يأتي قادر بأن فضل عن حاجة ممونه ما مر في صدقة التطوع 

“Dan kurban disunnahkan dalam hak kita bagi orang yang merdeka atau sebagian dirinya saja yang merdeka, Muslim, mukallaf dan cakap mengelola harta. Bagi wali yaitu bapak atau kakek bukan selainnya boleh berkurban untuk orang yang berada dalam kekuasaannya dari hartanya seperti keterangan yang akan datang, yang mampu yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi, seperti keterangan yang telah lewat dalam fasal sedekah Sunah.” (Syekh Syihabuddin Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12 hal 245-246).

Menurut Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata :

(قوله بأن فضل عن حاجة ممونه إلخ) ومنه نفسه

“Ucapan Syekh Ibnu Hajar (yakni hartanya melebihi kebutuhan orang yang wajib dinafkahi), di antaranya adalah melebihi kebutuhan dirinya sendiri”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah Al Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz 12, hal. 245-246).

Termasuk orang yang wajib dinafkahi adalah fakir miskin yang membutuhkan kebutuhan pokok sandang-pangan, meski bukan dari kerabatnya. Sehingga orang disebut mampu berkurban apabila memiliki dana kurban yang melebihi tanggung jawab nafkah kaum dluafa.

Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Al-Dimyati berkata :

والمراد بمن يجب نفقته الزوجة والقريب والمملوك المحتاج لخدمته وأهل الضرورات من المسلمين ولو من غير أقاربه لما ذكروه في السير من أن دفع ضرورات المسلمين بإطعام جائع وكسوة عار ونحوهما فرض على من ملك أكثر من كفاية سنة وقد أهمل هذا غالب الناس حتى من ينتسب إلى الصلاح.

“Yang dikehendaki dari orang yang wajib dinafkahi adalah istri, kerabat, budak yang dimilikinya yang dibutuhkan untuk melayaninya, dan orang-orang Islam yang sangat membutuhkan walaupun bukan kerabatnya karena alasan yang disebutkan dalam bab Al-Sair (jihad) bahwa membantu orang-orang Islam yang sangat membutuhkan dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian orang-orang yang telanjang (tidak punya pakaian) dan selainnya merupakan kewajiban bagi orang yang memiliki lebih dari kecukupan satu tahun. Mayoritas orang acuh terhadap hal ini, bahkan orang yang disebut-sebut saleh sekalipun.” (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati, I’anah At-Tholibin, al-Hidayah, juz 2, hal 282).

dapat disimpulkan bahwa orang yang di sarankan untuk berkurban adalah orang yang mampu menafkahi keluarganya dan mempunyai kelebihan . Perihal durasi kecukupan yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Pendapat yang kuat menyatakan terhitung sejak hari raya kurban sampai akhir hari tasyriq. Sebagian ulama mencukupkan di hari dan malam hari raya kurban saja.

 

Berkurban murah, mudah, sah, klik : 

Source : nu.or.id

Beberapa Syarat Sah Qurban

Beberapa Syarat Sah Qurban

Beberapa Syarat Sah Qurban. Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban telah diatur sedemikian rupa oleh syari’at Islam, mulai dari waktu, tempat, jenis-jenis hewan yang disembelih beserta umurnya dan kepada siapa daging kurban itu dibagikan, semua ini telah dijelaskan oleh para ulama-ulama fiqih terdahulu. Berbeda dengan penyembelihan hewan biasa yang tidak terikat dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana hewan qurban, karena hal itu bisa dilakukan kapan saja, siapa saja dan untuk siapa saja dibagikan.

Udhiyyah atau berkurban termasuk salah satu syi’ar Islam yang agung dan termasuk bentuk ketaatan yang paling utama. Ia adalah syi’ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata, dan realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Karenanya setiap muslim yang memiliki kelapangan rizki hendaknya ia berkurban. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan al-Hakim, namun hadits ini mauquf).

Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang mudhahhi (orang yang hendak berkorban) adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari ibadah kurbannya :

Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 34)

Bahimatul An’am : unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau 500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.

Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari’at. Umur hewan ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini ;

  • Unta minimal berumur 5 tahun dan telah masuk tahun ke 6.
  • Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke 3.
  • Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa (bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar,

ويجزئ فيها الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من الإبل والثني من البقر

Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u (Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2 tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3 tahun).

Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud, jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa, asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan.

Berqurban murah, mudah, dan sah, klik :

 

Source : nu.or.id

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui)

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui)

Puasa Untuk Busui (Ibu Menyusui). Perempuan yang menyusui itu diperbolehkan tidak berpuasa sepanjang berpuasa itu bisa membahayakan kesehatan dirinya dan anaknya atau salah satunya. Menurut madzhab syafi’i, jika seorang perempuan yang sedang menyusui melakukan puasa dan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif pada dirinya beserta anaknya, atau dirinya, atau anak saja maka ia wajib membatalkan puasanya. Dan baginya berkewajiban meng-qadla` puasanya. Namun jika dikhawatirkan membahayakan anaknya saja, maka ia tidak hanya berkewajiban meng-qadla’ tetapi ada kewajiban lain yaitu membayar fidyah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Juzairi :

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

“Madzhab syafii berpendapat, bahwa perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya. Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan memmbayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah.” (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, h. 521).

Sedangkan fidyah yang harus dibayarkan adalah satu mud (berupa makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin atau orang faqir. Satu mud kurang lebih 675 gram beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.

Untuk mengetahui apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidak, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq :

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja)bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, h. 373)

Setelah kita mengetahui kedudukan hukum berpusa bagi orang yang sedang menyusui. Lantas bagaimana dengan waktu pelaksanaan qadla` sekaligus pembayaran fidyah, jika ia meninggalkan puasa dengan alasan apabila tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya. Bahwa alasan kewajiban untuk meninggalkan puasa bagi orang yang sedang menyusui adalah adanya kekhawatiran akan membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja.

Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban qadla` tersebut bisa dilakukan setelah bulan ramadlan dan di luar waktu menyusui. Sedang mengenai teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. Sepuluh mud ini boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir.

وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ

“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen.” (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, dan semoga bermanfaat. Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui untuk selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Dan jika merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan segeralah berkonsultasi kepada dokter. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)

 

Berkurban murah, mudah, dan sah, klik : 

 

Source : nu.or.id

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah

Cara Mengetahui Jika Itu Hasil Sholat Istikharah. Shalat istikharah adalah anjuran Rasulullah di saat kita menemukan suatu kesusahan dan kegelisahan dalam hidup. Adanya shalat istikharah yang kita lakukan menjadi bukti butuhnya kita sebagai seorang hamba kepada Allah. Istikharah secara syariat Islam adalah meminta kebaikan kepada Allah dalam perkara yang akan dilaksanakan.

ويسن ركعتان للإستخارة أي طلب الخير فيما يريد أن يفعله

Artinya, “Dan disunnahkan (shalat) dua rakaat untuk istikharah yaitu meminta kebaikan pada perkara yang akan ia kerjakan,” (Al-Bakri Utsmani bin Muhammad, I’anatut Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 2003 M], juz I, halaman 297)

Seorang yang mendahulukan istikharah kepada Allah akan mendapatkan keberuntungan dari Allah. Sedangkan, seseorang yang meninggalkan istikharah kepada Allah berpotensi mendapatkan penyesalan di kemudian hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ اسْتِخَارَتُهُ اللَّهَ وَمِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَاهُ اللَّهُ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ تَرْكُهُ اسْتِخَارَةَ اللَّهِ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا قَضَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Salah satu (bentuk) keberuntungan anak adam adalah ia beristikharah kepada Allah, dan salah satu (bentuk) keberuntungan anak Adam adalah ridha dengan putusan yang Allah tetapkan, salah satu (bentuk) kecelakaan anak Adam adalah ia meninggalkan beristikharah kepada Allah, dan salah satu (bentuk) kecelakaan anak Adam adalah benci dengan keputusan yang Allah berikan,” (HR Ahmad).

Adapun di antara bentuk hasil istikharah adalah :

1. Ditakdirkan oleh Allah dengan perkara yang lebih baik dari yang kita harapkan. Seorang yang shalat istikharah berarti meminta kepada Allah agar diberikan perkara yang terbaik. Terkadang, suatu hal yang kita yakini baik ternyata ada banyak hal yang jauh lebih baik hasilnya yang telah dipersiapkan Allah bagi kita.

أن المراد بقوله فاستخرت أي دعوت بدعاء الإستخارة وطلبت منه تعالى ما هو خير لأن ما سألوه وإن كان خيرا فقد يكون غيره من الخيرات أفضل منه

Artinya, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan ucapan (orang yang shalat) ‘Aku beristikharah’ adalah aku berdoa dengan doa istikharah dan meminta kepada Allah perkara yang paling baik. Hal ini karena perkara yang baik yang diminta seorang hamba, terkadang ada perkara baik lain yang jauh lebih baik darinya (permintaan hamba),” (Al-Bujairimi Sulaiman bin Muhammad, Hasyiatul Bujairami ‘ala Khathib [Beirut: Darul Fikr, 2002], juz I, halaman 18).

2. Dimantapkan oleh Allah untuk memilih pilihan yang paling baik. Seorang yang shalat istikharah biasanya sedang dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk berulang-ulang membaca doa istikharah hingga diberikan keyakinan hati oleh Allah untuk memilih perkara yang baik. Seandainya setelah kita berulang-ulang membaca doa istikharah tetapi belum mendapatkan kemantapan hati dari Allah, maka hendaknya kita melaksanakan pilihan yang telah kita putuskan.

بل يسمي حاجته ثم يفعل ما ينشرح له صدره فإن لم يظهر له الحال في أول مرة كرر ما عدا الصلاة فإن لم يظهر له شيء فتوكل على الله ومضى لما هو عازم

Artinya, “Hendaknya ia menyebutkan hajatnya (dalam doa istikharah) kemudian ia melakukan perkara yang dilapangkan dadanya untuk mengerjakannya. Apabila belum terlihat keadaan (dilapangkan dada) dalam kesempatan pertama, maka hendaknya ia ulang-ulangi (doa istikharah) di luar shalat (istikharah). Apabila tetap tidak mendapatkan sesuatu (kelapangan dada) maka hendaknya ia berpasrah (tawakkal) kepada Allah serta mengerjakan perkara yang ia putuskan,” (Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr: 2002 M], halaman 106).

Kita diperintahkan oleh Allah untuk shalat istikharah dalam setiap akan mengerjakan perkara apapun bak dalam perkara yang kecil maupun perkara yang besar. Hal ini sebagaimana dalam hadits :

عن جابر قال كان النبي يعلمنا الإستخارة في الأمور كلها كما يعلمنا السورة من القرآن

Artinya, “Diceritakan dari sahabat Jabir, beliau mengatakan ‘Rasulullah mengajarkan kami untuk beristikharah dalam segala sesuatu sebagaimana beliau (Rasulullah) mengajarkan kami surat dari al-Qur’an.” (HR Bukhari).

Tidak perlu merasa enggan shalat istikharah karena dosa kita yang menumpuk karena kita harus meyakini bahwa Allah, zat yang Maha Penyayang pasti menolong kita. Kita melakukan shalat istikharah berarti kita butuh kepada Allah serta kembali untuk berserah diri kepada-Nya. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah :

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Artinya, “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dia (Allah) adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang’,” (QS Az-Zumar ayat 53).

Simpulan di sini adalah shalat istikharah dilaksanakan ketika kita menghadapi kondisi di mana kita sendiri tidak tahu mana pilihan yang terbaik. Seandainya, kita dihadapkan pada perkara yang sudah kita ketahui dengan jelas baik dan buruknya maka tidak perlu untuk shalat istikharah. Misal contoh, ada ajakan untuk beribadah atau berbuat baik maka tidak perlu istikharah untuk segera melaksanakannya. Misal yang lain, ada ajakan untuk berbuat maksiat atau berbuat jahat maka tidak perlu istikharah untuk  segera menolaknya. (Al-Adawi Ali bin Ahmad, Hasyiyah al-Adawi ‘ala Mukhtashar al-Khalil [Kairo, Maktabah Asy-Syarqiyah: 2002 M], juz I, halaman 36).

Hendaknya kita bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang yang bijaksana sebelum kita shalat istikharah dan berpasrah diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana nasihat Syekh Mula Ali Al-Qari :

المستحب دعاء الإستخارة بعد تحقق المشاورة في الأمر المهم من الأمور الدينية والدنياوية وأقله أن يقول اللهم اخترلي ولا تكلني إلى اختياري

Artinya, “Dan dianjurkan doa istikharah setelah musyawarah dalam perkara yang penting baik urusan dunia maupun akhirat. Dan minimal doa istikharah adalah ‘Ya Allah, pilihkanlah untukku, dan jangan pasrahkan aku kepada pilihan (hawa nafsu)ku’,” (Al-Qari Mula Ali, Mirqatil Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz VIII, halaman 3326).

 

Berkurban murah, mudah, dan sah, klik :

Source : nu.or.id

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak?

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak?

Bolehkah Sholat Sambil Menggendong Anak? Membawa atau menggendong anak ketika shalat hukumnya diperbolehkan, dan shalatnya sah selama tidak ada gerakan yang bisa membatalkan shalat. Seperti tiga kali gerakan secara terus-menerus, atau satu kali gerakan yang keras. Kebolehan shalat sambil menggendong anak adalah berdasarkan salah satu hadits nabi, bahwa suatu saat Rasulullah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab dan Abu al-Ash bin Rabi’ah. Dalam sebuah riwayat disebutkan :

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِي: أَنَّ النَّبِي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتِ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيْعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ رَفَعَهَا

Artinya, “Dari Abu Qatadah al-Anshari: bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan menggendong Umamah binti Zainab bint Rasulullah saw, dan Abu al-‘Ash bin Rabi’ah bin Abd Syams. Jika sujud, dia (nabi) meletakkan anak itu, dan jika berdiri, dia menggendongnya kembal2i.” (HR Anas bin Malik).

Berpijakan pada hadits Rasulullah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa menggendong anak ketika shalat hukumnya diperbolehkan dan shalatnya tetap sah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Kitab Musnad-nya yang disusun oleh Syekh Abid as-Sindi, ia mengatakan :

وَفِي هَذَا الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ حَمَلَ آدَمِيًا أَوْ حَيَوَانًا أَوْ غَيْرَهُمَا

Artinya, “Dan dalam hadits ini menjadi dalil sahnya shalat seseorang yang menggendong anak manusia, hewan, atau selain keduanya,” (Imam Syafi’i, Musnad Imam asy-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1951 M/1370 H], halaman 369).

Kendati demikian, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini agar shalatnya tetap sah, yaitu: (1) perihal kondisi anak; dan (2) gerakan orang yang menggendongnya. Pertama, anak yang digendong ketika shalat tidak boleh dalam keadaan najis, baik badan maupun pakaiannya. Kedua, tidak boleh ada tiga kali gerakan yang terus-menerus. Jika dua hal ini terpenuhi, maka shalatnya sah.

بشرط أن يكون ثياب الصبيان وأجسادهم طاهرة وإن الفعل القليل لا يبطل الصلاة وأن الأفعال إذا تعددت وتفرقت لا تبطل الصلاة .. وهو دليل مذهب الشافعي على صحة صلاة من حمل الصبي والصبية في صلاة الفرض والنفل للأمام والمأموم والمنفرد

Artinya, “Dengan syarat pakaian anak kecil, dan badannya harus suci. Dan, pekerjaan yang sedikit tidak membatalkan shalat. Pekerjaan yang banyak, jika berbilangan dan tidak terus-menerus juga tidak membatalkan shalat (jika terus-menerus, maka batal). Dan ini adalah dalil dalam mazhab Syafi’i, perihal keabsahan shalat seseorang yang menggendong anak laki-laki atau pun perempuan, baik dalam shalat fardhu, maupun sunnah, bagi imam, makmum, dan orang yang shalat sendiri,” (Imam Syafi’i, halaman 369).

Simpulan

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menggendong anak ketika shalat hukumnya boleh-boleh saja, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah. Hanya saja, kondisi anak yang digendong harus dalam keadaan suci, baik pakaian maupun badannya. Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dan menjadi ilmu yang bermanfaat. Kami juga menerima saran dan masukan. Terima kasih.

 

Berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Buat Yang Belum Aqiqah

Buat Yang Belum Aqiqah

Buat Yang Belum Aqiqah. Lain aqiqah, lain aqiqahan. Aqiqahan ialah mengundang tetangga untuk membacakan ayat Al-Quran, zikir, atau maulid Barzanji yang kemudian memotong sedikit rambut bayi oleh sejumlah undangan secara bergantian saat mahallul qiyam. Yang punya hajat lalu meminta kiai setempat mendoakan si anak kelak menjadi orang punya manfaat dan kegunaan bagi masyarakat.

Sedangkan aqiqah secara harfiah sebutan bagi rambut di kepala bayi. Bayi orang atau binatang, sama saja. Kata ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Dimasak gulai dengan harapan akhlak si orok kelak manis dan enak dipandang mata seperti masakan gulai.

Hukum aqiqah sunah muakkad. Tetapi menjadi wajib kalau dinazarkan sebelumnya. Untuk bayi laki-laki, sempurna minimal dua ekor kambing. Sedangkan bayi perempuan, dipotongkan seekor kambing. Tetapi pada prinsipnya, seekor kambing cukup untuk mengaqiqahkan bayi laki-laki maupun perempuan. Sementara sempurnanya, seorang wali tidak dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau. Artinya, silakan menyembelih berapa pun. Demikian kata Syekh Syarqowi dalam kitab Hasyiyatus Syarqowi ala Tuhfatit Thullab bi Syarhit Tahrir.

Sejumlah ulama mengatakan, aqiqah berfaedah memberikan mandat kepada si anak untuk memberikan syafa’at kelak kepada orang tuanya. Di lain pendapat, aqiqah bertujuan agar fisik dan akhlak si tumbuh dengan baik. Yang pasti, sedekah aqiqahan terlaksana.

Masa penyembelihan itu disunahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hari pertama keluarnya si bayi masuk dalam hitungan. Kalau belum sempat di hari ketujuh karena beberapa uzur, boleh dilakukan pada hari keempat belas, dua puluh satu, dan kelipatan tujuh berikutnya.

Saat menyembelih yang disunahkan saat fajar menyingsing, dianjurkan membaca doa berikut,

باسم الله والله أكبر اللهم هذه منك وإليك اللهم هذه عقيقة فلان

Dana pembelian hewan aqiqah ditanggung oleh si wali dalam hal ini bapaknya. Yang jelas, pembelian hewan itu tidak menggunakan harta orang lain termasuk istrinya atau anaknya. Karena, aqiqah ini merupakan sedekah. Sedekah harus pakai uang sendiri, bukan orang lain. Juga jangan memaksakan diri hingga menghutang ke sana sini.

Adapun aqiqah anak zina ditanggung oleh ibu dengan cara sembunyi agar tidak membuka aibnya. Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa, diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib berikut,

ولو مات المولود قبل السابع فلا تفوت بموته ولا تفوت العقيقة بالتأخير بعده أى بعد يوم السابع فإن تأخرت أى الذبيحة للبلوغ سقط حكمها فى حق العاق عن المولود أى فلا يخاطب بها بعده لانقطاع تعلقه بالمولود حينئذ لاستقلاله أما هو أى المولود بعد بلوغه فمخير فى العق عن نفسه والترك فإما أن يعق عن نفسه أو يترك العقيقة, لكن الأحسن أن يعق عن نفسه تداركا لما فات

“Andai si bayi wafat sebelum hari ketujuh, maka kesunahan aqiqah tidak gugur. Kesunahan aqiqah juga tidak luput karena tertunda hingga hari ketujuh berlalu. Kalau penyembelihan aqiqah ditunda hingga si anak balig, maka hukum kesunahannya gugur bagi si orang tua. Artinya mereka tidak lagi disunahkan mengaqiqahkan anaknya yang sudah balig karena tanggung jawab aqiqah orang tua sudah terputus karena kemandirian si anak. Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”

Anak yang sudah baligh dihukumkan mandiri. Singkat kata, mereka menanggung sendiri kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala yang dilakukan, termasuk untung maupun rugi kalau berusaha. Wallahu A’lam. 

 

Klik gambar untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

Source : nu.or.id

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah?

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah?

Bayi Gugur di Kandungan, Apakah Orang Tua Tetap Harus Aqiqah? Aqiqah adalah ajaran agama islam yang sangat mulia sebagai wujud syukur telah diberikan amanah buah hati dari Allah. Pada hari ketujuh dari kelahiran bayi maka orang tua disunnahkan untuk memberikan nama yang baik, mencukur rambut bayi serta menyembelih hewan ternak (akikah) sebagai wujud syukur kepada Allah.

Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah :

قال رسول الله كل غلام رهينة بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى

Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Setiap anak digadaikan dengan akikahnya, disembelih untuknya di hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur (rambutnya) serta diberikan nama’,” (HR Ahmad).

Seandainya seorang bayi keguguran di dalam kandungan. Maka ada dua perincian penting yaitu :

1. Bila keguguran di usia sebelum ditiupkannya ruh yaitu sebelum berusia 4 bulan atau 120 hari, maka tidak disunnahkan akikah.

2. Bila keguguran di usia setelah ditiupkannya ruh yaitu setelah berusia 4 bulan atau 120 hari, maka tetap sunnah akikah.

Hal ini sebagaimana pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, beliau beralasan karena bayi yang belum ditiupkan ruh (belum berusia 4 bulan atau 120 hari) nanti tidak dibangkitkan di hari kiamat serta tidak memberikan manfaat bagi orang tuanya di hari kiamat.

قال ابن حجر ومثله لا تستحب العقيقة كالتسمية عن السقط إلا إن نفخت فيه الروح إذ من لم تنفخ الروح فيه لا يبعث ولا ينتفع به في الآخرة

Artinya, “Imam Ibnu Hajar dan sesamanya berpendapat bahwa tidak disunnahkan akikah sebagaimana (tidak disunnahkan) memberikan nama dari bayi yang keguguran kecuali ketika telah ditiupkan ruh kedalamnya (sang bayi) karena bayi yang belum ditiupkan ruh tidak dibangkitkan (di hari kiamat) dan tidak bermanfaat (bagi orang tuanya) di akhirat,” (Al-Masyhur Abdurrahman bin Husan, Bughyah al-Mustarsyidin [KSA: Darul Minhaj, 2003 M], halaman 258).

Hukumnya sangat dianjurkan aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan untuk anak perempuan dengan dua ekor kambing. Seandainya bayi yang keguguran dan telah ditiupkan roh (usia 4 bulan atau 120 hari) setelah dicek USG (ultrasanografi) berjenis kelamin laki-laki maka aqiqahnya adalah dua ekor kambing, bila berjenis kelamin perempuan maka aqiqahnya adalah satu ekor kambing. Dan seandainya belum diketahui jenis kelamin bayi yang keguguran maka hendaknya akikah dengan dua ekor kambing untuk berhati-hati karena ada kemungkinan sang buah hati berjenis kelamin laki-laki.

Seandainya orang tuanya  sangat berkecukupan maka juga dibolehkan akikah lebih dari dua ekor kambing atau menyembelih hewan yang lebih besar seperti sapi ataupun unta sebagai akikah atas kelahiran sang bayi. Selain itu, dibolehkan berakikah dengan sistem iuran satu ekor sapi dengan niat akikah untuk tujuh anak.

ويسن أن يعق عن غلام بشاتين وجارية بشاة. وأفضل ثلاث وما زاد إلى سبع ثم بعير ثم بقرة. وتجوز مشاركة جماعة سبعة في بدنة أوبقرة سواء كان كلهم عن عقيقة أو بعضهم عن أضحية أو لا

Artinya, “Dan disunnahkan berakikah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Dan lebih utama lagi (dalam akikah) tiga ekor hingga tujuh ekor (kambing), kemudian (lebih utama lagi) dengan unta, kemudian (lebih utama lagi) dengan sapi. Dan dibolehkan menghimpun kelompok berjumlah tujuh orang membeli badanah (unta) ataupun sapi baik dengan niat seluruh kelompok tersebut untuk akikah atau sebagian dari mereka berniat berkurban ataupun tidak berniat kurban,” (Qalyubi Ahmad Salamah, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, [Beirut: Darul Fikr, 2003 M], juz IV, halaman 256).

Hukum sunnah akikah ini disesuaikan dengan kemampun orang tua sang bayi. Seandainya bayi yang yang lahir adalah laki-laki dan orang tua hanya mampu menyembelih seekor kambing maka diperbolehkan. Dan juga, seandainya tidak mampu menyembelih seekor kambing maka diperbolehkan menyembelih hewan halal yang mampu ia sembelih. Misal orang tuanya hanya mampu menyembelih ayam maka sudah mencukupi sebagai akikah sang anak. Hal ini sebagaimana pendapat Syekh Sirajuddin al-Bulqini :

والعقيقة مستحبة على المذهب وأقلها للمتمكن شاة ولغيره الإقتصار على ما يقدر عليه

Artinya, “Akikah adalah sunnah menurut mazhab (imam Asy-Syafi’I) dan minimal menyembelih satu ekor kambing bagi orang yang mampu, dan bagi selainnya (yang mampu menyembelih satu ekor kambing) cukup dengan menyembelih hewan yang mampu (disembelih),” (Al-Bulqini Sirajuddin, At-Tadrib fi al-Fiqh asy-Syafi’i, [KSA: Dar Qiblatain, 2012 M], juz III, halaman 163).

Simpulan di sini adalah sangat dianjurkan akikah bagi orang tua yang dianugerahi sang buah hati. Seandainya sang buah hati keguguran setelah berusia 4 bulan di dalam kandungan maka hendaknya tetap mengadakan akikah bagi sang buah hati. Meskipun sang buah hati telah wafat karena keguguran tetaplah ia sebagai karunia bagi orang tuanya yang patut disyukuri karna ia akan menjadi syafaat bagi orang tuanya di hari kiamat.

قال رسول الله إن السقط ليراغم ربه إذا دخل أبواه النار حتى يقال أيها السقط المراغم ربه ارفع فإني أدخلت أبويك الجنة

Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Sungguh seorang bayi yang keguguran menundukkan kepalanya dihadapan Allah ketika kedua orang tuanya masuk neraka sehingga diserukan kepadanya (bayi keguguran tersebut) ‘Wahai bayi keguguran yang menundukkan kepalanya dihadapan tuhannya, angkatlah (kepalamu) sungguh aku (Allah) telah memasukkan kedua orang tuamu ke dalam surga’,” (HR Baihaqi).

 

Klik gambar untuk berkurban murah, mudah, dan sah :

 

Source : nu.or.id

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter?

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter?

Wanita Hamil Tidak Puasa, Perkiraan Pribadi Atau Petunjuk Dokter? Dalam fiqih Islam diketahui bahwa wanita hamil, demikian pula wanita menyusui, boleh tidak puasa bila mengkhawatirkan kesehatan dirinya, bayinya, atau diri dan bayinya sekaligus. Inilah prinsip umum keringanan boleh tidak berpuasa bagi keduanya.

Baca Juga: Ragu Cairan yang Keluar Madzi atau Mani, Wajibkah Mandi Junub?   Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Kitab Fathul Qarib menjelaskan :

والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما) ضررا يلحقهما بالصوم كضرر المريض (أفطرتا، و) وجب (عليهما القضاء وإن خافتا على أولادهما) أي إسقاط الولد في الحامل وقلة اللبن في المرضع ( أفطرتا وعليهما القضاء) للإفطار (والكفارة) أيضا. والكفارة أن يخرج (عن كل يوم مد)  

Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir terhadap bahaya yang mengganggu kesehatan dirinya sebab melakukan puasa, seperti bahayanya orang sakit, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya. Bila mereka khawatir terhadap bahaya yang menimpa anaknya, yaitu anaknya keguguran bagi wanita hamil, dan air susu menjadi sedikit bagi wanita menyusui, maka mereka boleh membatalkan atau tidak puasa, dan mereka wajib mengqadhanya karena tidak puasa dan wajib membayar kafarat atau tebusan. Adapun ukuran kafarat yang dimaksud adalah dari setiap hari wajib membayar satu mud (kurang lebih 7 ons) makanan pokok.” (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib pada Hasyiyah Al-Bajuri, [Semarang, Toha Putera], juz I, halaman 300-301).

Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah istilah “khauf” atau khawatir. Khawatir di sini adalah dugaan kuat berdasarkan indikator yang jelas bahwa gangguan kesehatan tersebut akan terjadi bila nekat berpuasa.

أَمَّا الْخَوْفُ: فَهُوَ تَوَقُّعُ مَكْرُوهٍ عَنْ أَمَارَةٍ مَظْنُونَةٍ أَوْ مُتَحَقَّقَةٍ  

Artinya, “Kekhawatiran adalah ketakutan terjadinya hal yang tidak disenangi berdasarkan indikator yang bersifat dugaan atau yang bersifat pasti.” (Al-Maushu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Mesir, Darus Shafwah: 1404 H], juz XXVII, halaman 214).

Kekhawatiran tidak bisa hanya berdasarkan kira-kira tanpa ada indikator yang menunjukkan gangguan kesehatan benar-benar akan terjadi. Dalam istilah fiqih perkiraan tanpa indikator yang mendukung seperti itu disebut sebagai “wahm” atau “tawahhum”, yang tidak cukup untuk dijadikan dasar orang tidak berpuasa.

التَّوَهُّمُ فِي اللُّغَةِ : الظَّنُّ . وَفِي الاِصْطِلاَحِ عَرَّفَهُ بَعْضُ الْفُقَهَاءِ بِأَنَّهُ : تَجْوِيزُ وُجُودِ الشَّيْءِ فِي الذِّهْنِ تَجْوِيزًا مَرْجُوحًا … لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ التَّوَهُّمَ بِالْمَعْنَى الْمُتَقَدِّمِ لاَ عِبْرَةَ لَهُ فِي الأَْحْكَامِ  

Artinya, “Tawahhum dalam bahasa bermakna dugaan. Sementara dalam istilah fiqih sebagian Fuqaha mendefinisikannya dengan pengertian membenarkan wujudnya sesuatu di hati dengan pembenaran yang tidak unggul (daripada kemungkinan sebaliknya) … Tidak ada perbedaan pendapat di antara Fuqaha dalam hal bahwa tawahhum dengan arti seperti itu tidak dipertimbangkan dalam hukum.” (Al-Kuwaitiyah, XIV/203).

Lalu kekhawatiran dengan dasar atau indikator seperti apa yang membolehkan wanita hamil boleh tidak berpuasa?   Dalam hal ini kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pengalaman atau petunjuk dokter.

Semisal wanita hamil atau wanita menyusui pernah mengalami gangguan kesehatan baik diri atau bayinya karena nekat berpuasa. Di waktu berikutnya bila ada indikasi ia akan sakit bila nekat berpuasa, seperti badannya mulai lemas dan semisalnya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan pengalaman yang telah berlalu.

Atau semisal wanita hamil atau wanita menyusui khawatir akan mengalami gangguan kesehatan baik pada diri atau bayinya bila nekat berpuasa, lalu ia chek kesehatan dan diberi petunjuk oleh dokter untuk tidak berpuasa dahulu demi menjaga kesehatannya, maka ia boleh tidak berpuasa berdasarkan petunjuk dokter itu.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan :

الحمل والرضاع: يباح للحامل والمرضع الإفطار إذا خافتا على أنفسهما أو على الولد ، سواء أكان الولد ولد المرضعة أم لا، أي نسباً أو رضاعاً، وسواء أكانت أماً أم مستأجرة، وكان الخوف نقصان العقل أو الهلاك أو المرض، والخوف المعتبر: ما كان مستنداً لغلبة الظن بتجربة سابقة، أو إخبار طبيب مسلم حاذق عدل  

Artinya, “Wanita hamil dan wanita menyusui. Bagi wanita hamil dan wanita menyusui bila khawatir atas kesehatan mereka atau kesehatan anak, baik anak yang disusui itu adalah anak wanita yang menyusui atau bukan, maksudnya anak biologis atau anak karena persusuan, baik yang menyusui itu ibunya atau wanita yang disewa untuk menyusui anak orang lain, dan baik kekhawatiran itu adalah khawatir berkurangnya akal anak, khawatir mati atau sakit. Kekhawatiran yang dipertimbangkan adalah kekhawatiran yang berdasarkan pada dugaan kuat sebab pengalaman yang telah lalu atau berita petunjuk dari seorang dokter muslim, yang pandai dan adil.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh), [Damaskus, Darul Fikr], juz III, halaman 78).

Penjelasan serupa dapat dilihat di Kitab Al-Lubab fi Syarhil Kitab halaman 86 dan Kitab Nurul Idhah halaman 111.

Kembali pada pertanyaan, apakah wanita hamil yang sering kelelahan boleh tidak berpuasa? Apakah tidak puasanya itu cukup dengan perkiraan sendiri atau harus berdasarkan petunjuk dokter?

Maka jawaban ringkasnya adalah wanita hamil yang sering kelelahan boleh tidak berpuasa dengan dasar pengalamannya atau berdasarkan petunjuk dokter yang dapat dipercaya kalau nekat berpuasa akan sakit. Sebaliknya, ia tidak boleh tidak berpuasa hanya berdasarkan perkiraan akan sakit bila berpuasa, tanpa indikator yang menguatkan perkiraannya tersebut.  

Demikian jawaban yang kami sampaikan. Semoga jawaban dapat dipahami secara baik. Kami terbuka dengan kritik dan saran untuk penyempurnaan. Wallahu a’lam.

 

Klik untuk berkurban murah, mudah, dan gratis :

Source : nu.or.id

Jasa aqiqah No #1 Terbesar di Indonesia yang memiliki 52 Cabang tersebar di pelosok Nusantara. Sudah menjadi Langganan Para Artis.

KANTOR PUSAT

FOLLOW US

Follow dan subscribe akun sosial media kami, dan dapatkan Give Away setiap minggunya

Copyright © 2024 Aqiqah Nurul Hayat